Kecerdasan Buatan (AI) telah mengubah lanskap produksi ilmu pengetahuan. Dari proses brainstorming hingga analisis data yang kompleks, AI terbukti mampu mempercepat penelitian. Namun, pertanyaan krusial muncul: apakah percepatan ini benar-benar berbanding lurus dengan kemajuan ilmiah yang signifikan? Bukti menunjukkan adanya paradoks: semakin banyak publikasi, semakin lambat terobosan ilmiah yang berdampak luas. AI tidak hanya meningkatkan kecepatan produksi, tetapi juga mengungkap kelemahan mendasar dalam sistem akademik yang terlalu berorientasi pada metrik kuantitatif.
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah publikasi ilmiah meningkat secara eksponensial. Akan tetapi, studi science of science menunjukkan bahwa pertumbuhan ini tidak selaras dengan peningkatan inovasi atau penemuan revolusioner. Dibandingkan era sebelumnya—abad ke-20, misalnya, dengan teori relativitas, revolusi komputasi, dan penemuan struktur DNA—kemajuan terkini cenderung inkremental, bukan transformatif.
Situasi ini mengarah pada hipotesis inflasi pengetahuan: jumlah informasi melimpah, tetapi kontribusinya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan relatif kecil. AI, dengan kemampuan analisis datanya, justru mempercepat fenomena ini tanpa menjamin kualitas atau dampak nyata riset.
Salah satu akar masalahnya adalah sistem akademik yang menjadikan publikasi sebagai ukuran utama kesuksesan peneliti. Jumlah publikasi menjadi tolak ukur utama pendanaan, promosi jabatan, dan reputasi. Akibatnya, fokus bergeser dari eksplorasi intelektual mendalam ke pemenuhan target kuantitatif yang ditetapkan institusi dan jurnal. AI mempercepat tren ini dengan menyediakan alat otomatisasi. Namun, jika semua ilmuwan memiliki akses ke alat yang sama, kompetisi bukan lagi soal kecerdasan atau kreativitas, melainkan kecepatan produksi.
Konsekuensinya, banyak publikasi dengan nilai akademik rendah yang hanya “mengisi ruang” dalam sistem. Praktik seperti salami slicing—memecah satu penelitian menjadi beberapa publikasi kecil—semakin umum. Ini membebani komunitas ilmiah dalam menyaring informasi bernilai dan mempersulit pencarian literatur. AI, yang diharapkan membantu menyaring informasi, justru berpotensi memperparah masalah dengan meningkatkan jumlah makalah yang secara substansial tidak bermanfaat.
Batasan AI dan Krisis Sistem Akademik
Meskipun AI mempercepat banyak aspek penelitian, terdapat batasan fundamental. Dalam banyak disiplin ilmu, sains bukan hanya pemrosesan informasi, tetapi juga eksperimen nyata. Ilmu kedokteran, misalnya, masih memerlukan uji klinis yang panjang dan kompleks. Ilmu lingkungan membutuhkan observasi langsung ekosistem, sementara teknik dan sains material bergantung pada eksperimen fisik. AI mungkin membantu simulasi, tetapi eksperimen nyata tetap menjadi kendala utama dalam percepatan ilmiah.
Di sisi lain, AI bisa menjadi katalis perubahan dalam sistem akademik yang selama ini dianggap bermasalah. Akademisi dan institusi perlu mendefinisikan ulang penilaian kontribusi ilmiah. Kita perlu beralih dari menghitung jumlah publikasi ke pengukuran dampak nyata penelitian.
Pendekatan baru ini dapat mencakup beberapa hal. Pertama, menilai penelitian berdasarkan dampaknya pada masyarakat dan industri, bukan hanya jumlah sitasi. Apakah penelitian tersebut menghasilkan inovasi nyata? Apakah berkontribusi pada kebijakan publik, solusi industri, atau perbaikan sosial?
Kedua, mendorong kolaborasi antar disiplin ilmu, karena tantangan modern seringkali multidimensi. Penelitian lintas disiplin akan lebih bernilai daripada penelitian yang hanya mendalami satu aspek kecil suatu bidang.
Ketiga, meningkatkan akses terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Saat ini, banyak penelitian hanya dapat diakses oleh segelintir orang, sehingga manfaatnya terbatas. Prioritaskan publikasi terbuka (open-access) agar ilmu pengetahuan lebih inklusif dan bermanfaat.
Terakhir, ubah paradigma tentang produktivitas ilmiah. Banyak akademisi terbebani untuk terus menerbitkan penelitian, tanpa insentif nyata untuk fokus pada riset berdampak jangka panjang. Jika AI mempercepat produksi makalah tanpa meningkatkan kualitas, sistem akademik harus menemukan cara menilai kontribusi berdasarkan kualitas pemikiran, bukan jumlah publikasi.
Ironisnya, AI mungkin akan turut menghancurkan sistem akademik berbasis kuantitas sebelum benar-benar mempercepat inovasi. Dengan kemampuan AI dalam menulis makalah yang sulit dibedakan dari karya manusia, kita mungkin terpaksa mengevaluasi kembali standar ilmiah. Jika kita tidak ingin publikasi menjadi sekadar formalitas, kita harus mulai memikirkan metrik baru yang mencerminkan nilai intelektual dalam ilmu pengetahuan.
Kesimpulannya, AI bukan solusi instan untuk mempercepat kemajuan ilmiah, melainkan cermin yang menunjukkan kelemahan sistem akademik kita. Tanpa adaptasi, AI hanya akan mempercepat produksi tanpa meningkatkan inovasi. Namun, AI juga bisa menjadi pemicu revolusi dalam pemahaman dan penilaian ilmu pengetahuan. Pergeseran dari paradigma “jumlah publikasi” ke “dampak nyata” akan menjadi tantangan besar bagi komunitas akademik di masa depan.